MediandaTerkini
– Sahabat medianda terkini Dalam suatu forum pengajian ada yang bertanya
tentang cairan keputihan. Apakah keputihan itu najis?
Ustadz
menjawab, keputihan (ifrazat) adalah lendir yang umumnya bening, keluar dari
organ reproduksi wanita, namun bukan madzi dan mani. Baik karena sya*hwat
maupun ketika aktivitas normal.
Apakah Keputihan Itu
Suci Atau Cairan Najis? Inilah Jawaban Islam
Baik
yang bersifat normal maupun karena penyakit. Para ulama menjelaskan hukum
keputihan (ifrazat) sebagaimana ruthubah (lendir yang selalu membasahi organ
reproduksi wanita).
Ada
2 kajian yang akan kita bahas untuk masalah keputihan bagi wanita. Kajian
pertama tentang status cairan keputihan, apakah termasuk benda najis ataukah
bukan? Kedua, apakah keluar keputihan menyebabkan batalnya wudhu.
Ulama
berbeda pendapat apakah keputihan itu najis ataukah suci, Pertama, keputihan
statusnya najis. Ini pendapat Imam as-Syafii menurut salah satu keterangan,
as-Saerozi; ulama madzhab Syafiiyah, al-Qodhi Abu Yala; ulama madzhab Hambali,
dan beberapa ulama lainnya.
Ini
pendapat Hanafiyah, pendapat Imam as-Syafii menurut keterangan yang lain,
al-Baghawi, ar-Rafii; ulama madzhab Syafiiyah, dan Ibnu Qudamah; ulama madzhab
Hambali.
Ibnu
Qudamah ulama madzhab Hambali menjelaskan, "Dalam permasalahan keputihan
yg keluar dari organ reproduksi wanita, ada 2 pendapat,
[1]
keputihan statusnya najis sebab berasal dari kema-luan yang bukan unsur
terciptanya seorang anak. Sebagaimana madzi.
[2]
keputihan statusnya suci. Karena Aisyah pernah mengerik mani dari baju Rasulullah
shallallaahu alaihi wa sallam bekas jima. Mengingat tidak ada seorang nabi pun
yang mengalami mimpi basah. Sehingga makna air mani tersebut adalah cairan yang
bercampur dengan cairan basah farji istri beliau. Karena jika kita menghukumi
keputihan sebagai benda najis, seharusnya kita juga berpendapat najisnya mani
wanita. Mengingat mani wanita juga keluar dari kema-luannya, sehingga bisa
menjadi najis karena ada keputihan di leher rahim.
Sementara
al-Qadhi Abu Yala berpendapat, semua yang terkena cairan basah dari kema-luan
ketika jima statusnya najis. Karena tidak lepas dari madzi, sementara madzi
hukumnya najis.
Ibnu
Qudamah mengomentari, alasan al-Qodhi tidak benar. Karena sya*hwat ketika
memuncak, akan keluar mani tanpa madzi, sebagaimana ketika mimpi basah.
(al-Mughni, 2/65).
Keterangan
dari Imam an-Nawawi ulama syafiiyah "Keputihan yang keluar dari farji
bentuknya cairan putih. Diperselisihkan sifatnya, antara disamakan dengan madzi
dan al-irq (cairan kema*luan). Karena itu, ulama berbeda pendapat mengenai hukumnya.
Kemudian, penulis (as-Saerozi) dalam kitab al-Muhadzab ini dan kitab at-Tahbih,
keputihan hukumnya najis.
Ini
juga pendapat yang dipilih al-Bandaniji. Sementara al-Baghawi dan ar-Rafii
serta yang lainnya berpendapat bahwa yang benar adalah suci.
Penulis
kitab al-Hawi mengatakan, Imam as-Syafii menegaskan dalam sebagian
kitab-kitabnya bahwa keputihan wanita statusnya suci. (al-Majmu, 2/570).
Antara
Hadis Aisyah dan Hadis Utsman radhiyallahu anhuma
Mengapa
ini dikhususkan, karena dua hadist ini yang menjadi titik tolak pembahasan.
Pertama,
hadist Aisyah radhiyallahu anha, tentang air mani yang menempel di baju Nabi
shallallahu alaihi wa sallam, kata Aisyah, "Aku mengerik mani itu dari
baju Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam (HR. Muslim 288, Nasai 296, dan
yang lainnya).
Yang
dipahami dari hadis ini (sebagaimana keterangan Ibnu Qudamah di atas),
Mani
yang ada di baju Nabi shallallahu alaihi wa sallam adalah bekas hu*bungan
badan, dan bukan mani mimpi basah. Karena para nabi tidak mengalami mimpi
basah.
Karena
mani itu bekas dari hubungan badan, bisa dipastikan cairan yang nempel di situ
bercampur dengan cairan yang ada di farji wanita.
Aisyah
radhiyallahu anha mengeriknya, dan yang namanya mengerik bisa dipastikan tidak
akan bersih sempurna.
Kedua, hadis Ustman
bin Affan
Dulu,
orang yg melakukan hubungan badan, namun tidak sampai keluar mani, tidak
diwajibkan mandi junub. Namun cukup berwudhu.
Zaid
bin Khalid pernah bertanya kepada Utsman bin Affan, Apa hukumnya orang yang
berhubungan, tapi tidak keluar mani? Jawab Utsman,""Dia berwudhu
dengan sempurna dan dia cuci kema-luannya." Kata Utsman, Aku dengar dari
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. (HR. Bukhari 179 dan Muslim 347).
Yang
dipahami dari hadist ini, Orang yg berhubungan dan tidak or*ga*sme, dia tidak
wajib mandi, tapi cukup wudhu. Dan hukum ini telah dinasakh (dihapus) dengan
hadis Abu Hurairah yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim
Adanya
perintah mencuci kema-luan sehabis hu*bungan meskipun tidak keluar mani. Artinya
itu perintah membersihkan cairan yang menempel di ke*ma*luan karena hubungan
badan.
Perintah
mencuci kema-luan di situ tidak mansukh, hukumnya tetap berlaku.
Ulama
yg berpendapat bahwa keputihan tidak najis, mereka berdalil dengan hadis Aisyah
radhiyallahu anha. Sementara ulama yang menilai najis berdalil dengan hadis
Utsman. Dan jika kita perhatikan, masing-masing dalil tidaklah tegas
menunjukkan demikian. Karena masing-masing pendapat menyimpulkan hadis di atas
berdasarkan makna, yang tidak tercantum dalam teksnya.
Kemudian,
Syaikh Musthofa al-Adawi dai dari Mesir , setelah membawakan perselisihan
pendapat ulama dalam masalah ini, beliau mengatakan, "Dengan melihat lebih
mendalam terhadap keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa tidak ada dalil
tegas yang menunjukkan bahwa keputihan wanita hukumnya najis. Sementara hadis
yang dibawakan Bukhari, yang ada pernyataan, "Dia harus berwudhu sempurna
dan mencuci kema-luannya.." tidaklah menunjukkan dengan tegas bahwa mencuci
kema-luan dalam kasus itu, disebabkan keputihan wanita. Namun bisa juga dipahami
karena madzi. Sebagaimana Nabi shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan
al-Miqdad ketika dia bertanya tentang madzi, jawab Nabi shallallahu alaihi wa
sallam, Dia harus berwudhu dan mencuci kema-luannya.
Kemudian
beliau menyimpulkan, "Oleh karena itu, keputihan yang ada di organ
reproduksi wanita, statusnya suci. (Jami Ahkam an-Nisa, 1/66).
Disamping
itu, cairan keputihan yang keluar dari organ reproduksi wanita, adalah hal yang
wajar terjadi di masa silam. Sahabat
medianda terkini meskipun demikian, kita tidak menjumpai adanya riwayat dari
para sahabat wanita (shahabiyat) yang menanyakan hal itu kepada Nabi
shallallahu alaihi wa sallam. Padahal umumnya mereka hanya memiliki satu
pakaian. Jika ini najis, tentu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam akan
mengingatkannya. Sehingga kembali ke hukum asal, bahwa segala sesuatu hukum
asalnya adalah suci.
Semoga
bermanfaat.
Sumber:Beradab