Khawatir sekolah jadi klaster baru Covid-19
Perwakilan perhimpunan guru mengungkapkan alasannya saat menolak buka sekolah pada bulan Januari 2021. Pihaknya juga meragukan dnegan kesiapan sekolah serta sarana dan prasarananya.
Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru (P2G) menilai bahwa keputusan pemerintah untuk membuka sekolah pada Januari 2021 sangat berbahaya.
Tak hanya itu mereka juga menuturkan bahwa belajar online harus diteruskan hingga vaksinasi dilakukan.
Koordinator P2G Satriwan Salim menjelaskan beberapa alasan yang melatarbelakani penilaian itu.
Pertama, kesiapan pemerintah daerah dan pihak sekolah mempersiapkan infrastruktur protokol kesehatan di sekolah cukup diragukan.
Hal ini dikarenakan budaya disiplin yang masih kurang, akibatnya jika lalai sangat berpotensi menyebabkan klaster penularan Covid-19 di sekolah.
"P2G meragukan kesiapan sekolah memenuhi syarat-syarat daftar periksa protokol kesehatan yang cukup detail. Kesiapan infrastruktur dan budaya disiplin masih belum maksimal dilaksanakan. Sarana-prasarana yang menunjang protokol kesehatan bersifat mutlak, tapi banyak sekolah belum menyiapkan dengan sempurna," kata Satriwan, pada Senin (23/11/2020).
Oleh sebab itu, P2G meminta pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bersama Kementerian Agama untuk turun tangan memastikan satu per satu berjalannya protokol kesehatan sekolah di daerah.
"Sekolah juga tak boleh memaksa orang tua memberikan izin. Mendapatkan layanan pendidikan adalah hak dasar siswa," sambungnya.
Selain itu, pembukaan sekolah di bulan Januari 2021 juga berpotensi berbahaya bagi pelajar dan pendidik karena dilaksanakan tepat setelah libur panjang dan Pilkada 9 Desember 2020.
Dikhawatirkan karena dua kegiatan tersebut bisa memunculkan klaster di tingkat keluarga yang akan tersebar melalui anak saat berada di sekolah.
"Bayangkan Januari kemudian sekolah tatap muka dilakukan. Jadi kekhawatiran sekolah akan menjadi klaster terbaru COVID-19 sangat beralasan," katanya.
Alasan selanjutnya adalah sekolah tatap muka dengan pembatasan juga tidak akan efektif. Pasalnya, interaksi sosial siswa di sekolah juga sangat terbatas dan tidak akan optimal, akhirnya sama saja dengan belajar online dari rumah.
"Guru juga tidak akan bisa optimal mengawasi aktivitas siswa setelah keluar dari gerbang sekolah. Mereka main kemana, melakukan apa, bersama siapa, dan mengendarai apa, semuanya di luar pengawasan guru. Di sini juga letak potensi penyebaran COVID-19 yang kita khawatirkan," ujar dia.
Satriwan juga menegaskan pihaknya tidak mendukung pembukaan sekolah padaJanuari 2021. Dia lebih menyarankan sekolah baru dibuka setelah pemerintah melakukan program vaksinasi COVID-19 supaya berjalan aman.
"P2G pada intinya meminta kepada para Kepala Daerah, agar sekolah jangan dulu dibuka secara nasional, sampai vaksin Covid-19 sudah diproduksi, PJJ sebaiknya diteruskan sampai akhir tahun ajaran baru 2020/2021, dengan perbaikan-perbaikan," pungkas Satriwan.
Sebelumnya, Pemerintah telah memutuskan untuk membuka kembali kegiatan belajar mengajar tatap muka per Januari 2021 dan tanpa mempertimbangkan zona resiko penularan covid-19 lagi.
Pemerintah pusat juga sudah memberikan kewenangan penuh kepada pemerintah daerah bersama sekolah dan orang tua murid untuk mempersiapkan pembukaan sekolah.
Kebijakan tersebut dilakukan guna menyelamatkan anak Indonesia dari ketertinggalan pelajaran sebab berbagai masalah Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ).
Diantaranya adalah kondisi mental pelajar maupun tekanan psikososial dan juga kekerasan dalam rumah tangga.
Memang setiap keputusan memiliki konsekuensinya masing-masing, oleh sebab itu pihak yang berkaitan seperti Pemda, sekolah dan orang tua perlu mempertimbangan keputusannya.
Dan juga betul-betul mempersiapkan diri untuk meminimalisir resiko dari setiap keputusan.
sumber : wajibbaca.com