Senin, 05 Juni 2017

Untukmu Para Wanita Mandiri yang Ragu Menikah

MediandaTerkini -  Mmenjadi seorang wanita yang mandiri dan tangguh itu bagiku sangat luar biasa, akan tetapi jika lantas membuat mundur keinginan untuk menggenapkan separuh agama, rasanya sungguh kurang pas. Berikut ini tulisan kiriman salah satu Sahabat  yang dapat kita jadikan renungan…



Belum genap 3 bulan saya menikah, beberapa teman minta nasehat untuk keputusan menikah yang hendak mereka ambil. Teman-teman saya memang banyak yang sudah layak menikah tapi belum mengambil komitmen untuk itu. Alasan mereka sangat banyak, salah satunya belum berani, atau tidak percaya diri.

Menghadapi itu, saya jadi teringat pergolakan batin ketika hendak memutuskan perkara yang sama. Waktu itu saya berpikir, mampukah saya melepaskan otoritas kepemimpinan yang selama ini sudah tertanam begitu kuat dalam diri saya? Saya terbiasa mandiri dan sudah save dengan keberadaan seperti ini. Jika tiba-tiba ada orang masuk dalam kehidupan saya, mampukah saya menerima dan mengikhlaskan ketaatan padanya seperti halnya pada orangtua? Mampukah saya menempatkan kerelaannya sebagai konsekuensi logis atas harapan ridho Allah?

 Masa lalu dan lingkup pergaulan saya pun sangat beragam. Saya punya akses ke orang-orang yang biasa nongkrong di pinggir jalan, para pemegang birokrasi daerah, sampai ke golongan paling alim. Bisakah kelak saya membawa suami masuk ke pergaulan yang seberagam itu? Mampukah saya menata hati jika ternyata nanti suami saya dianggap bukan apa-apa oleh salah satu di antaranya? Sebaliknya, sanggupkah saya meluruhkan ke-aku-an jika nanti di lingkungan suami, saya dianggap memiliki beberapa ‘catatan’ karena keberagaman tersebut?

Belum lagi jika saya harus mengerjakan pekerjaan-pekerjaan domestik setelah menikah nanti. Mampukah saya melakukan hal-hal yang selama ini saya anggap menyita banyak waktu sehingga peran publik menjadi tidak optimal? Bersediakah saya menjadi ‘putri abu’ yang hanya berkutat dengan garam, bawang, dan seabrek cucian selama berjam-jam sehari dan terus menerus?

Alhamdulillah, setelah melalui pergolakan sedemikian rupa, Allah mengaruniai saya untuk mampu mengikat diri dalam perjanjian agung itu. Setelah menikah, saya masih tertatih menapak fase penyempurnaan dien dalam diri saya. Saya terus berusaha untuk tidak senantiasa mengkalkulasi seberapa besar pengorbanan yang telah saya berikan untuk peran domestik saya, dan seberapa besar kenyamanan yang diberikan suami sebagai imbalannya. Saya hanya ingin mengoptimalkan peran kerumahtanggaan sebagai rangkaian ibadah yang akan membawa saya lebih dekat pada Allah.

Ketika saya masih begitu takut terkooptasi oleh suami, saya justru berusaha untuk mengikhlaskan ketaatan padanya. Saya berharap ketaatan itu akan menimbulkan sinergi yang bisa menambah kemanfaatan kami bagi islam. Karena pada hakekatnya suami adalah pakaian bagi istri dan begitu sebaliknya. Manifestasinya masing-masing harus saling menutup aurat, -dalam arti kelemahan dan kekurangan pasangan-, memperindah dan melindungi seperti layaknya fungsi pakaian.

Ketaatan hanyalah satu bentuk pengukuhan  fungsi perlindungan suami terhadap saya. Toh itu tidak membuat kebebasan saya terbelenggu. Saya bahkan mempunyai hak untuk menjadi lebih indah dan termuliakan. Saya percaya penuh pada Allah dalam hal ini. Allah telah memberi saya anugerah pakaian terindah dalam situasi dan kondisi bagaimanapun, saya pun berusaha untuk menjadi demikian bagi suami. Saya harus menata hati untuk ikhlas dengan ketentuan-Nya. Apa pun kondisi yang saya hadapi, saya berharap optimalisasi peran domestik saya tidak mengambil hak publik yang harus saya tunaikan. Sungguh saya masih terus berusaha dalam segala hal, meski tertatih.

Semoga menginspirasi dan bermanfaat


Sumbe : ummi-online.com
Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+

Related : Untukmu Para Wanita Mandiri yang Ragu Menikah