MediandaTerkini - Mmenjadi
seorang wanita yang mandiri dan tangguh itu bagiku sangat luar biasa, akan
tetapi jika lantas membuat mundur keinginan untuk menggenapkan separuh agama,
rasanya sungguh kurang pas. Berikut ini tulisan kiriman salah satu Sahabat yang dapat kita jadikan renungan…
Belum genap 3 bulan saya menikah, beberapa teman minta
nasehat untuk keputusan menikah yang hendak mereka ambil. Teman-teman saya
memang banyak yang sudah layak menikah tapi belum mengambil komitmen untuk itu.
Alasan mereka sangat banyak, salah satunya belum berani, atau tidak percaya
diri.
Menghadapi itu, saya jadi teringat pergolakan batin ketika
hendak memutuskan perkara yang sama. Waktu itu saya berpikir, mampukah saya
melepaskan otoritas kepemimpinan yang selama ini sudah tertanam begitu kuat dalam
diri saya? Saya terbiasa mandiri dan sudah save dengan keberadaan seperti ini.
Jika tiba-tiba ada orang masuk dalam kehidupan saya, mampukah saya menerima dan
mengikhlaskan ketaatan padanya seperti halnya pada orangtua? Mampukah saya
menempatkan kerelaannya sebagai konsekuensi logis atas harapan ridho Allah?
Masa lalu dan lingkup
pergaulan saya pun sangat beragam. Saya punya akses ke orang-orang yang biasa
nongkrong di pinggir jalan, para pemegang birokrasi daerah, sampai ke golongan
paling alim. Bisakah kelak saya membawa suami masuk ke pergaulan yang seberagam
itu? Mampukah saya menata hati jika ternyata nanti suami saya dianggap bukan
apa-apa oleh salah satu di antaranya? Sebaliknya, sanggupkah saya meluruhkan
ke-aku-an jika nanti di lingkungan suami, saya dianggap memiliki beberapa
‘catatan’ karena keberagaman tersebut?
Belum lagi jika saya harus mengerjakan pekerjaan-pekerjaan
domestik setelah menikah nanti. Mampukah saya melakukan hal-hal yang selama ini
saya anggap menyita banyak waktu sehingga peran publik menjadi tidak optimal?
Bersediakah saya menjadi ‘putri abu’ yang hanya berkutat dengan garam, bawang,
dan seabrek cucian selama berjam-jam sehari dan terus menerus?
Alhamdulillah, setelah melalui pergolakan sedemikian rupa,
Allah mengaruniai saya untuk mampu mengikat diri dalam perjanjian agung itu.
Setelah menikah, saya masih tertatih menapak fase penyempurnaan dien dalam diri
saya. Saya terus berusaha untuk tidak senantiasa mengkalkulasi seberapa besar
pengorbanan yang telah saya berikan untuk peran domestik saya, dan seberapa
besar kenyamanan yang diberikan suami sebagai imbalannya. Saya hanya ingin
mengoptimalkan peran kerumahtanggaan sebagai rangkaian ibadah yang akan membawa
saya lebih dekat pada Allah.
Ketika saya masih begitu takut terkooptasi oleh suami, saya
justru berusaha untuk mengikhlaskan ketaatan padanya. Saya berharap ketaatan
itu akan menimbulkan sinergi yang bisa menambah kemanfaatan kami bagi islam.
Karena pada hakekatnya suami adalah pakaian bagi istri dan begitu sebaliknya.
Manifestasinya masing-masing harus saling menutup aurat, -dalam arti kelemahan
dan kekurangan pasangan-, memperindah dan melindungi seperti layaknya fungsi
pakaian.
Ketaatan hanyalah satu bentuk pengukuhan fungsi perlindungan suami terhadap saya. Toh
itu tidak membuat kebebasan saya terbelenggu. Saya bahkan mempunyai hak untuk
menjadi lebih indah dan termuliakan. Saya percaya penuh pada Allah dalam hal
ini. Allah telah memberi saya anugerah pakaian terindah dalam situasi dan
kondisi bagaimanapun, saya pun berusaha untuk menjadi demikian bagi suami. Saya
harus menata hati untuk ikhlas dengan ketentuan-Nya. Apa pun kondisi yang saya
hadapi, saya berharap optimalisasi peran domestik saya tidak mengambil hak
publik yang harus saya tunaikan. Sungguh saya masih terus berusaha dalam segala
hal, meski tertatih.
Semoga menginspirasi dan bermanfaat
Sumbe : ummi-online.com