Medianda - Batas akhir meng-qadha puasa ialah sampai datangnya bulan
Ramadhan selanjutnya. Jadi, selambat-lambatnya ialah hingga bulan Sya’ban.
PUASA di bulan Ramadhan merupakan kewajiban. Dan kita sudah
melewatinya. Hanya saja, di antara masih kita masih terikat dengan utang.
Terutama kaum perempuan. Biasanya, mereka yang tidak berpuasa di bulan Ramadhan
karena terhalang dengan masalah yang syar’i, maka ia wajib melunasinya di bulan
yang lain.
Waktu meng-qadha puasa tentu selain di bulan Ramadhan.
Hanya, banyak di antara kita yang melalaikan utangnya ini. Hingga akhirnya tiba
kembali di bulan Ramadhan. Alhasil, utang tersebut tidak terlunasi. Lalu,
sebenarnya kapan batas akhir kita wajib meng-qadha puasa?
Dalam masalah qadha (takhir al-qadha), Imam Abu Hanifah
memang membolehkan qadha puasa Ramadhan kapan saja walau pun sudah datang lagi
bulan Ramadhan berikutnya. Dalilnya adalah kemutlakan nash Al-Baqarah: 183.
Dalam kitab Al-Jami’ li Ahkam Ash-Shiyam, hal. 122,
dinukilkan oleh penulisnya bahwa Imam Abu Hanifah berkata, “Kewajiban
meng-qadha puasa Ramadhan adalah kewajiban yang lapang waktunya tanpa ada
batasan tertentu, walaupun sudah masuk Ramadhan berikutnya,” (Wujuubu
al-qadhaa`i muwassa’un duuna taqyiidin walaw dakhala ramadhan ats-tsaniy).
Sedang jumhur berpendapat bahwa penundaan puasa qadha
selambat-lambatnya adalah hingga bulan Sya’ban dan tidak boleh sampai masuk
Ramadhan berikutnya. Dalil pendapat jumhur ini adalah hadits yang diriwayatkan
oleh At-Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, dan Ahmad dari Aisyah RA dia berkata,”Aku
tidaklah meng-qadha sesuatu pun dari apa yang wajib atasku dari bulan Ramadhan,
kecuali di bulan Sya’ban hingga wafatnya Rasulullah ﷺ,” (maa
qadhaytu syai`an mimmaa yakuunu ‘alayya min ramadhaana illaa sya’baana hatta
qubidha rasulullahi shallallahu ‘alaihi wa sallama) (Mahmud Abdul Latif
Uwaidhah, Al-Jami’ li Ahkam Ash-Shiyam, [Beirut : Mu`assasah Ar-Risalah], 2002,
hal. 122).
Adapun waktu qadha, yang rajih adalah pendapat jumhur, bukan
pendapat Imam Abu Hanifah rahimahullah. Jadi meng-qadha puasa Ramadhan itu
waktunya terbatas, bukan lapang (muwassa) sebagaimana pendapat Imam Abu
Hanifah. Maka qadha wajib dilakukan sebelum masuknya Ramadhan berikutnya. Jika
seseorang menunda qadha tanpa udzur hingga masuk Ramadhan berikutnya, dia
berdosa.
Dalilnya adalah hadits Aisyah RA di atas bahwa dia
berkata,”Aku tidaklah meng-qadha sesuatu pun dari apa yang wajib atasku dari
bulan Ramadhan, kecuali di bulan Sya’ban hingga wafatnya Rasulullah ﷺ,” (HR.
At-Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, dan Ahmad, hadis sahih). Terdapat hadis-hadis yang
semakna dalam lafadz-lafadz lain sebagaimana diriwayatkan oleh al-Bukhari dan
Muslim. Lihat Imam Syaukani, Nailul Authar, hal. 871-872, hadits no. 1699.
Memang hadis di atas adalah hadis mauquf yaitu merupakan perbuatan,
perkataan, dan diamnya sahabat. Yang dalam hal ini adalah perkataan dan atau
perbuatan Aisyah RA. Jadi ia memang bukan hadis marfu’, yaitu hadis yang isinya
adalah perbuatan, perkataan, dan diamnya Rasulullah ﷺ.
Namun adakalanya sebuah hadis itu mauquf, tapi dihukumi
sebagai hadis marfu’. Para ulama menyebut hadis semacam ini dengan sebutan
al-marfu’ hukman. Yakni hadis yang walaupun secara redaksional (lafzhan) adalah
hadis mauquf tetapi secara hukum termasuk hadis marfu’ (Mahmud Thahhan,Taysir
Musthalah al-Hadits, hal. 131).
Hadis al-marfu’ hukman mempunyai ciri antara lain bahwa
objek hadits bukanlah lapangan pendapat atau ijtihad. Dengan kata lain, bahwa
seorang sahabat tidaklah berkata, berbuat, atau berdiam terhadap sesuatu
kecuali dia telah memastikan bahwa itu berasal dari Nabi ﷺ
(Shubhi Shalih, ‘Ulumul Hadits wa Musthalahuhu, hal. 207-208).
Mengenai hadis Aisyah RA di atas terdapat indikasi bahwa ia
adalah al-marfu’ hukman. Mahmud Abdul Latif Uwaidhah menjelaskan dalam Al-Jami’
li Ahkam Ash-Shiyam hal. 123-124 dengan mengatakan, “Adalah jauh sekali,
terjadi perbuatan itu dari Aisyah —yang tinggal dalam rumah kenabian— tanpa
adanya pengetahuan dan persetujuan (iqrar) dari Rasulullah ﷺ. Nash
ini layak menjadi dalil bahwa batas waktu terakhir untuk meng-qadha puasa
adalah bulan Sya’ban. Artinya, qadha hendaknya dilaksanakan sebelum datangnya
Ramadhan yang baru. Jika tidak demikian, maka seseorang telah melampaui batas.
Kalau qadha itu boleh ditunda hingga datangnya Ramadhan yang baru, niscaya
perkataan Aisyah itu tidak ada faidahnya. Lagi pula pendapat mengenai wajibnya
meng-qadha sebelum datangnya Ramadhan yang baru telah disepakati oleh para
fuqaha, kecuali apa yang diriwayatkan dari Imam Abu Hanifah rahimahullah.”
Maka, dapat kita ketahui bahwa waktu untuk meng-qadha puasa
ialah sampai datangnya bulan Ramadhan berikutnya. Jadi, selambat-lambatnya
hingga bulan Sya’ban. Meski begitu, jika ada kesempatan, maka qadha-lah lebih
awal.
Demikianlah penjelasan yang bisa kami bagikan, Semoga dapat bermanfaat
Disadur dari: Muhammad Shiddiq Al-Jawi, seorang penulis produktif
dan seorang aktivis dakwah yang kami kutip dari konsultasi.wordpress.com
sumber : islampos.com