MediandaTerkini
– Sahabat medianda terkini dalam suatu
hu-bunga-n tidak ada satupun seseorang yang mau untuk diselingkuhi. Namun seringkali
kita tidak menyadari bahwa perselingkuhan adalah bentuk keke*rasan dalam rumah
tangga. Bahkan tindakan yang ‘sering dianggap wajar” ini diakui dalam
undang-undang sebagai salah satu bentuk keke*ra*san. Bukan fisik atau raga yang
menjadi sasaran utama yang terkena dampaknya, namun hati dan perasaan yang
menjadi korbannya. Bahkan dampaknya bisa memengaruhi kejiwaan seseorang dan
mengubah segalanya.
Tidak
heran bila trauma yang disebabkan oleh sebuah perselingkuhan atau pengkhianatan
akan berlangsung lama. Trauma itu tidak sedikit yang akhirnya bertransformasi
dalam wujud dendam yang tidak mudah untuk dipadamkan. Yang menyedihkan, dendam
tersebut bisa membuat seorang perempuan kehilangan sifat penyayangnya dan
menjadikan seorang laki-laki kehilangan sifat pengayomnya. Bahkan dendam bisa
memunculkan sifat terkejam manusia yang sebelumnya baik-baik saja.
Angka
perceraian yang terjadi karena perselingkuhan semakin meningkat. Kasus kejahatan
yang terjadi karena perselingkuhan terjadi di sekitar kita. Kita tidak bisa
menutup mata dan telinga bahwa perselingkuhan sering menyisakan luka yang luar
biasa.
“Dulu
kamu berjanji untuk sehidup semati dalam pernikahan saat mengawali rumah tangga
kita yang sederhana. Di mana janji itu?”
“Dulu
kamu berjanji akan menjadi apa saja, termasuk menjadi kuli bangunan sekalipun
untuk menghidupi aku dan anak-anakmu. Namun nyatanya justru kamu menghabiskan
uangmu untuk bermain-main dengan wanita lain. Di mana janji itu?”
“Dulu
kamu memintaku untuk membantu berdagang untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga
kita, bahkan aku membantumu mencarikan konsumen untuk memenuhi targetmu, dan
kamupun berjanji untuk mempersembahkan setiap hasil jerih payahmu. Tapi ternyata
kamu bisa berfoya-foya di restoran mahal dengan selingkuhanmu saat kami di
rumah menunggu oleh-oleh hasil kerjamu. Lalu di mana janji itu?”
Pertanyaan-pertanyaan
di atas hanya beberapa dari puluhan bahkan ratusan pertanyaan yang sering
terlontar dari seorang perempuan kepada suaminya, seorang ibu kepada ayah dari
anak-anaknya, ketika mereka mendapati dengan mata kepala sendiri perselingkuhan
yang dilakukan oleh suami mereka, suami yang selama ini mereka percaya.
Sahabat
medianda terkini kisah nyata ini terjadi pada seorang perempuan. Laki-laki yang
telah dinikahinya selama hampir 5 tahun, dalam suka dan duka, sedih dan tawa,
yang bersamanya mengarungi samudera kehidupan dalam biduk rumah tangga,
ternyata menorehkan luka dalam. Gugatan cerai pun dilayangkan, karena hati dan
perasaan sudah tidak kuat menanggung beban pengkhianatan dan perlakuan sang
suami yang sudah keterlaluan. Luka akibat sakit hati dan kekecewaan atas
pengkhianatan suami masih harus ditambah dengan ruwetnya proses perceraian.
Namun pada akhirnya, proses perceraian itu semakin menunjukkan siapa sebenarnya
laki-laki yang dulu pernah ser*an*jang dan seatap dengannya.
“Aku
meminta pertanggungjawabanmu sebagai ayah kandung dari anak kita, anak yang
dulu kamu timang-timang dan kamu janjikan perlindungan dan kasih sayang, kini
malah kamu bilang aku mengemis. Di mana janji-janjimu itu?”
“Aku
menuntut hakku sebagai mantan istrimu dan hak anak kita, yang dulu kamu
nyatakan sebagai orang-orang terpenting yang akan kamu perjuangkan dengan
segenap jiwa dan ragamu. Kini malah kamu bilang aku mengada-ada dan merongrong
hidupmu. Di mana janji-janjimu itu?”
Hingga
hari ini, 13 kali sidang perceraian telah dilalui oleh perempuan itu untuk
mendapatkan haknya dan hak anaknya. Dalam 13 kali sidang tersebut, belum ada
hasil apapun. Sang suami.. jangankan memenuhi janji-janji di masa lalu, bahkan
untuk sekedar hadir menemui dua perempuan yang seharusnya ‘masih’ menjadi
tanggung jawab dan kewajibannya saja, dia tidak muncul, pergi entah kemana.
Bagaikan
habis manis sepah dibuang, dia tinggalkan seorang perempuan yang dulu
dicintainya sebagai istri. Dia juga menelantarkannya seorang perempuan kecil,
darah dagingnya, yang bagaimanapun juga akan selamanya menyebut dirinya: PAPA.
Namun itulah pilihan sang suami, pilihan yang menghancurkan hidup dua perempuan
yang akan selalu mengingat semua janjinya. Janji-janji yang tidak dipenuhi.
Bahkan janji-janji yang dibalasnya dengan sebuah pengkhianatan.
“Air
mataku bukan untuk dirimu wahai laki-laki. Kamu tidak cukup berharga lagi untuk
kutangisi. Aku berduka karena khayalan dan mimpi-mimpiku tentang dirimu tercabik-cabik
oleh kenyataan akan kebenaran tentang siapa dirimu sebenarnya.”
Dituliskan
oleh Yasin bin Malenggang berdasarkan kisah nyata seorang perempuan, ibu
seorang anak perempuan dari Tasikmalaya untuk rubrik #Spinmotion di Vemale.com.
Semoga
bermanfaat.
Sumber:Postshare