Medianda - Islam sebagai agama yang sempurna telah
mengatur hampir tiap hal dalam segala bidang kehidupan. Dalam urusan finansial
contohnya, risalah yang telah dibawa Rasulullah ini sudah mengatur perihal
pegadaian jauh-jauh hari.
Gadai atau rahn dalama syara’ artinya menjadikan harta
sebagai kepercayaan/penguat utang. Akad ini dilakukan dengan cara pemilik
barang (rahin) menyerahkan barang yang akan digadaikan (marhun) kepada orang
yang menerima gadai (murtahin) dengan akad yang akan ditebus pada waktu yang
telah ditentukan dengan tebusan sebesar uang yang dipinjamkan oleh rahin.
Gadai hukumnya adalah jaiz atau boleh. Dasar
diperbolehkannya adalah:
“… hendaknya ada barang tanggungan yang dipegang.” (QS. Al
Baqarah: 283).
Dalil lainnya adalah:
“Bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam pernah
menggadaikan baju besi kepada seorang Yahudi untuk berutang gandum demi
keluarga beliau.” (HR. Bukhari & Muslim).
Barang yang boleh digadaikan
Dalam kitab Kifayatul Akhyar milik Taqiyuddin Abubakar Al
Husain, disebutkan bahwa semua barang yang boleh dijual, maka boleh juga
digadaikan.
Syekh Abu Syuja’ berkata, “Semua barang yang boleh dijual,
juga boleh digadaikan sebagai jaminan utang, apabila utang tersebut sudah pasti
menjadi tanggungan peminjam.”
Lebih lanjut Imam Taqiyuddin Abubakar Al Husain menjalaskan
bahwa barang yang tidak boleh dijual, maka tidak boleh digadaikan, misalnya
barang yang telah diwakafkan, ummul walad (budak perempuan yang melahirkan anak
karena disetubuhi majikannya), dan barang-barang sejenisnya, maka pegadaian itu
tidak sah.
Selanjutnya, syarat barang yang hendak digadaikan menurut
pendapat yang unggul adalah yang berwujud di depan mata. Artinya, piutang tidak
dapat digadaikan. Karena syarat barang yang boleh digadaikan adalah dapat
diterima secara langsung. Sedangkan piutang tidak dapat diterima secara
langsung. Tidak sah pula bila menggadaikan barang yang dirampas/digasah, yang
dipinjam, dan semua barang yang diserahkan kepada orang lain sebagai jaminan.
Walau demikian, ada sebagian pendapat yang memperbolehkan penggadaian berupa
barang-barang tersebut.
Tidak sah gadai apabila...
Dalam melakukan transaksi gadai, disyariatkan pula agar
diketahui oleh kedua pihak. Syekh Abu Syuja’ berkata, “Penggadai boleh menarik
kembali barang yang digadaikan selama barang itu belum diterima oleh penerima
gadaian.”
Penerimaan barang gadaian oleh pemegang gadai juga salah
satu rukun dalam akad gadai atas tetapnya gadaian. Jadi, gadaian belum
ditetapkan sah selama barang yang digadaikan belum diterima oleh pemegang
gadai.
Allah berfirman:
“… maka hendaklah ada barang tanggungan yang pegang (oleh
orang yang menerima gadaian).” (QS. Al Baqarah: 283).
Bila seseorang hendak melakukan penggadaian, namun barang
tersebut belum diterima oleh pemegang gadai, maka orang tersebut boleh
membatalkannya. Karena, gadaian yang belum diterima akadnya masih jaiz atau
boleh diubah oleh pihak penggadai sebagaimana masa khiar dalam jual beli.
Nah, demikianlah pandangan Islam tentang penggadaian. Semoga bermanfaat dan menambah wawasan anda.
sumber : Muslimahdaily.com