MediandaTerkini – Sahabat medianda
terkini mungkin sudah biasa kita melihat masyarakat disekitar kita yang
merayakan hari special tanggal lahirnya. Ada hari yang dirasa spesial bagi
kebanyakan orang. Hari yang mengajak untuk melempar jauh ingatan ke belakang,
ketika saat ia dilahirkan ke muka bumi, atau ketika masih dalam buaian dan
saat-saat masih bermain dengan ceria menikmati masa kecil.
Ketika hari itu datang, manusia
pun kembali mengangkat jemarinya, untuk menghitung kembali tahun-tahun yang
telah dilaluinya di dunia. Ya, hari itu disebut dengan hari ulang tahun.
Biasanya hari ulang tahun
dihadapi dengan melakukan perayaan, baik berupa acara pesta, atau makan besar,
atau syukuran.
Nah sahabat medianda terkini,
pertanyaan yang hendak kita cari tahu jawabannya adalah, bagaimana sikap yang
Islami menghadapi hari ulang tahun? Bagaimana hukumnya dalam Islam?
Perayaan
Ulang Tahun Yang Dilarang
Sebagian ulama melarang
perayaan ulang tahun karena dikhawatirkan itu mengikuti kebiasaan budaya barat
yang tidak sejalan dengan ajaran agama Islam.
Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wa sallam bersabda, “Orang yang meniru suatu kaum, ia seolah adalah bagian dari
kaum tersebut” (HR. Abu Dawud)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam juga mengingatkan, “Kalian pasti akan mengikuti kebiasaan-kebiasaan
orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta,
bahkan, seandainya mereka masuk ke dalam sarang biawak pun kalian mengikuti
mereka.”
Kami (para sahabat) bertanya,
“Ya Rasulullah, apakah itu kaum Yahudi dan Nashrani?” Beliau berkata, “Siapa
lagi.” (HR. Bukhari)
Penyerupaan terhadap perayaan
orang non muslim disebabkan adanya hal-hal yang munkar di dalamnya. Misalnya
menyalakan dan meniup lilin, memasang gambar patung (walaupun berukuran kecil)
di tengah-tengah kue yang dihidangkan atau nyanyian dan memainkan alat musik
yang diharamkan.
Atau mengadakan pesta
berlebihan yang banyak mengandung kemaksiatan. Juga memakai atribut simbol
agama lain. Seperti topi kerucut dan terompet. Karena hal tersebut termasuk
syi’ar orang-orang non muslim atau syi’ar orang fasik.
Memperingati
Hari Lahir Yang Dibolehkan
Sahabat medianda terkini tasyakuran
memberi makan anak yatim dan dhuafa.Apakah benar bahwa memperingati hari
kelahiran tidak ada tuntunannya dalam Islam dan tidak pernah dicontohkan oleh
Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam
Disebut dalam suatu riwayat
tentang asal mula disunnahkannya puasa di hari Senin. Rasulullah ditanya
tentang puasa Senin, beliau menjawab, “Hari itu aku dilahirkan dan pada hari
itu (pula) wahyu di turunkan kepadaku.” (HR. Muslim)
Maka jika ditanyakan, apakah
ada dalil syara’ mengenai peringatan hari kelahiran? Jawabnya ada, yaitu dalil
qiyas. Dengan catatan tegas bahwa peringatan hari kelahiran yang dibolehkan
adalah bila dilakukan dengan hal-hal kebaikan.
Bisa dengan tasyakuran
bersyukur masih diberi usia oleh Allah, muhasabah diri untuk mengevaluasi
kesalahan2 dan kekurangan untuk bisa diperbaiki ke depan, juga dengan
bersedekah misalnya memberi makan anak yatim dan dhuafa.
Dasar pengambilan hukum seperti
tersebut di atas adalah keterangan dari kitab Al-Iqna’ juz I hal. 162 : “Imam
Qommuli berkata : kami belum mengetahui pembicaraan dari salah seorang ulama
kita tentang ucapan selamat hari raya, selamat ulang tahun tertentu atau bulan
tertentu, sebagaimana yang dilakukan oleh banyak orang, akan tetapi al-hafidz
al-Mundziri memberi jawaban tentang masalah tersebut.
Sahabat medianda terkini memang
selama ini para ulama berselisih pendapat, menurut pendapat kami, tahni’ah itu
mubah, tidak sunnah dan tidak bid’ah, Imam Ibnu Hajar setelah mentelaah masalah
itu mengatakan bahwa tahni’ah itu disyari’atkan.
Dalilnya yaitu bahwa Imam
Baihaqi membuat satu bab tersendiri untuk hal itu dan dia berkata : “Maa ruwiya
fii qaulin nas” dan seterusnya, kemudian meriwayatkan beberapa hadits dan
atsar. Namun secara kolektif riwayat tersebut bisa digunakan dalil tentang
tahni’ah.
Secara umum, dalil dalil
tahni’ah bisa diambil dari adanya anjuran sujud syukur dan ucapan yang isinya
menghibur sehubungan dengan kedatangan suatu mikmat atau terhindar dari suatu
mala petaka.
Dan juga dari hadits riwayat
Imam Bukhari dan Imam Muslim bahwa sahabat Ka’ab bin Malik sewaktu
ketinggalan/tidak mengikuti perang Tabuk dia bertaubat, ketika menerima kabar
gembira bahwa taubatnya diterima, dia menghadap kepada Nabi shallallahu ‘alahi
wa sallam. maka sahabat Thalhah bin Ubaidillah berdiri untuk menyampaikan
ucapan selamat kepadanya”. (nu)
Simak penjelasan lengkap
tentang hukum merayakan ulang tahun dari ustadz Abdul Somad Lc, MA
curhatmuslimah.com