MediandaTerkini – Ketika ada seseorang yang telah Nikah Siri
Untuk Menghindari Zina dan Tanpa Sepengetahuan Keluarga, Ketahui ini Hukumnya berikut
ini :
Meski secara agama sah, nikah siri diperbolehkan karena
telah memenuhi syarat. Rukun pernikahan secara agam Islam adalah, wali, dua
orang saksi pria, mahar, serta ijab kabul. Tapi bagaimana jika tanpa
sepengetahuan dan campur tangan keluarga?
Seperti wanita ini yang menanyakan tentang permasalahn
hidupnya, diajak nikah siri dengan lelaki tapi diam-diam tak melibatkan
keluarga.
Akhirnya ketika suami sudah tak mengurusnya lagi ia bingung
harus bagaimana.
Pertanyaan:
Saya pernah menikah siri tanpa sepengetahuan keluarga.
Semuanya pihak laki-laki yang mengurus. Itu saya lakukan karena pihak laki-laki
berjanji akan mengikuti agama saya, tetapi ternyata tidak. Yang mau saya
tanyakan adalah:
- Apakah yang saya lakukan itu sah menurut hukum?
- Saya sudah berjalan hampir 3 bulan tidak serumah lagi, dan laki laki itu tidak memberi nafkah lahir dan batin, apakah saya masih berstatus istrinya atau bukan?
- Saya sudah tidak mau bersatu lagi, dikarenakan laki-laki itu terlalu kasar berbicara dan tidak menghargai saya, apa yang harus saya lakukan?
- Bagaimana jika saya mau menikah dengan yang lain?
Jawaban:
Saudari tidak menyebutkan apa agama Saudari dan pria itu.
Dalam cerita Anda juga tidak diuraikan Saudari menikah secara agama apa.
Kami berasumsi bahwa Saudari beragama Islam dan menikah
dengan tata cara agama Islam.
Selain itu, walaupun Anda menikah tanpa sepengetahuan
keluarga, kami berasumsi bahwa persyaratan mengenai adanya wali nikah dan saksi
nikah telah terpenuhi.
Sebagai sesama perempuan saya sungguh berempati terhadap
masalah yang tengah Saudari hadapi.
Kami berasumsi menikah siri dengan laki-laki pilihan hati
tanpa sepengetahuan keluarga yang Saudari maksud adalah telah melangsungkan
pernikahan (ijab qabul) sesuai dengan syarat dan rukun nikah menurut agama Islam
tanpa dicatatkan di Kantor Urusan Agama (“KUA”) setempat.
Menanggapi pertanyaan Saudari tentang apakah pernikahan
Saudari sah menurut hukum,berikut kami
kutip bunyi Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) jo. Pasal 2 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”):
Pasal 4 KHI:
“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut Hukum
Islam sesuai dengan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.”
Pasal 2 UU Perkawinan:
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Hal ini berarti, perkawinan Anda sah apabila telah dilakukan
menurut Hukum Islam (menurut hukum agama dan kepercayaan yang sama dari
pasangan calon suami istri).
Selain itu, pasangan suami istri tersebut, berdasarkan Pasal
2 ayat (2) UU Perkawinan, mempunyai kewajiban mencatatkan perkawinannya ke KUA
(pegawai Pencatat Nikah) dan mendapatkan buku nikah sebagai bukti pencatatan
perkawinan.
Bahwa sepanjang belum ada kata talak dari suami kepada
Saudari, tentunya Saudari masih merupakan istri sah dari suami Saudari.
Tidak adanya legalitas berupa buku nikah sebagai bukti
diakuinya pernikahan Saudari oleh Negara dikarenakan menikah siri, memang akan
berdampak pada permasalahan status perkawinan dan bagaimana untuk memproses
perceraian bila salah satu pihak tidak menginginkan bersama lagi sebagai suami
istri.
Untuk itu kami menyarankan agar Saudari mengajukan itsbat
nikah ke Pengadilan Agama di wilayah tempat tinggal Saudari. Hal ini sesuai
dengan ketentuan Pasal 7 KHI:
Pasal 7 KHI:
- Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.
- Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akat Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama.
- Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan:
- Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian;
- Hilangnya Akta Nikah;
- Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan;
- Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang No.1 Tahun 1974 dan;
- Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974;
- Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami atau isteri, anak–anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu.
- Pasca itsbat nikah dan mengajukan gugatan cerai, Pengadilan Agama setempat akan memberikan kepada Saudari akta cerai, sebagai bentuk telah putusnya perkawinan karena putusan hakim.
Demikian jawaban dari saya semoga bermanfaat. Klik SUKA jika
Artikel kami bermanfaat
Sumber : wajibbaca.com